Siang ini, aktivitas mengetik saya terhenti karena mendengar 'cuat cuet' anak saya yang masih berusia 6 bulan. Anak saya digendong mbahnya (ibu saya) di luar sambil berjalan-jalan. Mbahnya gendong sambi nonton YouTube. Saya terhenyak, di kepala saya berkecamuk berbagai macam pikiran.
Ada pikiran belanja kebutuhan rutin bulanan yang belum sempat saya lakukan, sabun cuci baju habis, sabun cuci piring habis, lauk dan sayur di kulkas sudah menipis, baju-baju belum dicuci, dan tumpukan baju kering yang belum disetrika.
Kemudian, saya tengok electric breastpump di meja, oh ya saya belum pumping, susu untuk adek untuk siang ini belum ada. Saya tengok lagi ke monitor, dan melihat tab yang berderet-deret, artinya kerjaan saya banyak dan numpuk.
Saya lihat anak saya. Terbayang saya punya kerjaan yang bisa saya lakukan sambi saya gendong dia. Selama ini saya kerja 8 jam sehari, gak sempat pegang adek dengan lebih lama. Saya gak bisa gendong dia untuk jalan-jalan siang. Kalau dengar dia cuat cuet dan teriak-teriak, kadang saya hampiri dan senyumnya seketika mengembang di wajahnya, saya sedikit sedih.
Seharusnya saya yang temani dia main, harusnya saya yang bikin dia tertawa-tawa. Entah mungkin kalau dia teriak-teriak dia pengen lihat saya-ibunya, tiap kali saya hampiri, teriakannya berganti senyum dan tawa.
Masak, cuci baju, jemur baju, lipat baju, kerja kantor, kerja freelance, belanja, bersih-bersih, semua saya lakukan sendiri, tapi kenapa jagain bayi, urus bayi, ajak main bayi, malah orang lain?
Saya pikir saya ibu yang bodoh, kenapa begitu ambisius ini itu tapi bayi, yang merupakan aset terbesar dan paling berharga saya, malah diurus orang lain? Terkadang saya membayangkan kehidupan dimana saya tidak harus bekerja ini dan itu supaya bisa jagain anak, supaya punya waktu lebih banyak untuk anak saya.
Ya, kapan lagi saya begitu? Anak saya nanti ketika besar pasti sudah main sendiri dan sudah gak mau diuyel-uyel ibunya mungkin. Ketika dia sekolah, dia kuliah, dia kerja, saya membayangkan dia terpisah hidupnya dengan saya, dan saya takut dia jadi tidak dekat dengan saya. Ah saya tidak mau itu terjadi.
Saya mengalami itu semua, sejak TK saya hidup terpisah dari bapak ibuk saya. Saya dan kakak tinggal dengan simbah di kota ini, sementara ibuk dan bapak saya tinggal di luar kota yang jauh jaraknya untuk bekerja mencari sesuap nasi demi biaya hidup kami.
Sejak TK hingga besar, hingga kuliah, hingga kerja, saya tidak pernah tinggal bersama orangtua saya. Saya rasa ikatan batin saya dengan orangtua tidak terlalu kuat. Tidak dekat. Kalau ada masalah saya gak pernah cerita dengan orangtua, tapi dengan teman.
Saya gak mau nantinya anak saya juga begitu karena saya tahu rasanya. Tahu pedihnya. Saya ingat ketika kanak-kanak, kalau sakit saya ya tidur sendiri. Padahal sekarang ketika saya punya anak, anak saya anget sedikit saya maunya peluk dia terus dan ada di dekat dia terus.
Jadi, kenapa bisa urus semua hal, tapi urus anak sendiri diberikan ke orang lain?
Sekarang ini saya mungkin gak tahu jawabannya. Yang saya tahu, saya masih butuh bekerja karena kebutuhan yang menuntut ini itu. Yang pasti, saya masih lebih beruntung sekarang ini, karena saya masih WFH (work from home) sehingga saya masih bisa terus mengawasi anak saya sembari bekerja di rumah.
Bayangkan ibu-ibu bekerja yang masa cuti 3 bulannya habis, setelah 3 bulan cuti ia harus rela meninggalkan anak yang masih tergolong newborn. Saya tidak bisa membayangkan hal itu. Maka dari itu, sekarang ini saya bersyukur sekali karena bisa mengawasi anak saya sembari bekerja di rumah.
Ke depan, mungkin saya akan mencari pekerjaan yang lebih santai dan lebih fleksibel, sehingga saya ada banyak waktu untuk mengurus anak di rumah, hehe.
Komentar